Kamis, 30 Maret 2017

Tentang Pertemanan

Saat ini saya sedang sedih. Ada banyak hal yang saya pikirkan saat ini. Ada banyak kecemasan yang tengah saya alami saat ini. Hal yang sering kali membuat saya sedih adalah, bukan karena banyaknya masalah saya, atau seringnya saya mengalami kecemasan. Tapi, rasa sendiri yang tiba-tiba menyelimuti, jika saya tengah mengalami hal-hal tersebut.
Menjadi Introvert, bukan tentang kemahiran mereka menganalisa dan kepandaian mereka, yang kata sebagian orang sangat mengangumkan. Tapi juga tentang rapuhnya mereka, tentang ringkihnya perasaan mereka. Saya mengatakan ini karena saya kerap mengalami perasaan sendiri itu. Bukan karena tak ada teman, dan bukan karena kami mengecilkan peran mereka yang sering ada untuk kami. Tapi, saya merasa, kadang butuh “klik” tertentu untuk dapat terkoneksi dan membuka ruang dihati kami untuk kemudian kami berbagi dan merasa tak sendiri lagi. Dan sayangnya, tak semua orang dapat “klik” yang saya maksud.
Saya sendiri kurang mengerti apa klasifikasi atau syarat untuk seseorang hingga dapat “klik” terhadap perasaan saya. Kadang ada orang yang datang begitu saja lantas “klik” itu tiba. Kadang butuh proses lama sampai teman saya tersebut nyaris menyerah membuka lapis demi lapis ruang ketertutupan saya, hingga akhirnya saya membagi tempat diruang pribadi saya.

Senin, 11 April 2016

Jangan Nikah Karena Latah

Belakangan ini perbincangan menyoal perkewongan alias pernikahan kian santer ditempat saya kerja. Alasannya karena memang jumlah lajang non pacar maupun lajang dengan pacar jumlahnya terbilang sangat sedikit. Jadilah isu jodoh-jodohan ini makin asyik dikemukakan oleh segelintir pihak yang merasa dirinya sudah terlebih dahulu laku.

Saya termasuk yang gencar menjadi korban bully tersebut. Saya yang memang dasarnya ga terlalu memberi lahan khusus untuk mikirin soal begituan jadi sedikit kepikiran. Terlebih beberapa teman terdekat saya kebanyakan sudah tidak lagi single – sebuah eufemisme dari kata jomblo – sehingga begitu kerasa saat mengajak mereka main lantas mereka tidak bisa dengan dalih sudah ada janji dengan pasangan masing-masing.

Kembali ke urusan pernikahan. Bagi saya, nikah bukan cuma menyoal urusan selangkangan dan pembuktian kejantanan. Dengan dalih menghindari maksiat atau sudah terlanjut maksiat, banyak pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi berbondong-bondong bikin buku merah ijo itu. Padahal nyatanya nikah tidaklah sesederhana itu. Saya tidak bermaksud memperumit pernikahan tapi saya merasa bahwa kita tidak bisa lantas meremehkannya juga.

Selasa, 15 Desember 2015

PETRICHOR DAN SEBUAH CERITA TENTANG AYAH



“Ayah, bagaimana kabar ayah disana ? Ayah baik-baik saja kan ? Yah, ini tepat seminggu sejak ayah pergi. Wah, rasanya baru kemarin sore kita ngobrol diteras depan sambil minum teh hangat buatan ibu ya, yah”

Ingat ga, biasanya sepulang kerja dan ayah kehujanan pasti ayah minta dibuatkan teh hangat. Dan aku pasti minta dibuatkan juga. Dan ibu pasti membuatkan teh hangat itu untuk kita berdua. Ayah digelas yg besar ( soalnya perut ayah kan besar ) sedang aku di gelas yg kecil.
 
Kadang ibu juga bikin pisang goreng untuk kita.
Sekarang gelas ayah masih ada. Disimpan dirak. Aku sering mengelapinya kalau kebetulan berdebu. 

Kan ga ada yg pakai gelas itu selain ayah.

PETRICHOR menguap diantara tanah yang dihujam butiran tentara air dari langit. Dulu, kata Ibu, hujan adalah tangisan dewi-dewi dan guntur adalah bentuk murka sang dewa. Ibu bilang sambil mengusap kepalaku sebelum terlelap tidur, jadilah anak baik agar dewi-dewi disinggasanya tak perlu bercucuran airmata serta sang dewa tak perlu murka.

Namun kini, aku ingin selalu dewi-dewi itu menangis untukku. Sebab, mereka harus merasakan nelangsa yang aku terima. Sebab dengan airmatanya, dapat mengobati sejumput rindu yang bergolak dalam ruang hatiku. Sebab pada air hujan dan deras yang mengalun ada kenangan yang dapat kunikmati sendiri. Ada sebeuah dimensi yang ingin kukunjungi sekali waktu.

Hujan Dan Sebuah Ketuntasan Rindu



BERKALI kulirik jam yang tertera dilayar handphoneku. Satu jam lagi aku akan sampai pada tempat tujuanku. Kulangkahkan kaki keluar dari Commuter line tujuan Jakarta Kota. Stasiun Manggarai tampak sudah ramai. Satu hari di Minggu pertama pada Desember yang basah. Langit tampak cemerlang. Hari hampir menuju siang.

Kali ini aku harus berganti kereta menuju Bekasi. Peron no 4 terlihat dijejali sejumlah penumpang. Kuperhatikan wajah-wajah disekitarku. Sebagian tampak sumringah. Mungkin mereka ingin mengujungi sanak keluarga mereka di seputaran Bekasi atau Jakarta Selatan. Rasanya memang menyenangkan ketika hati bisa kembali pulang.

Sebuah pengumuman dari pengeras suara menisyaratkan bahwa kereta tujuan Bekasi akan segera tiba. perhatikan layar handphoneku, Belum ada pesan masuk. Dia belum membalas

Tak berselang lama kereta yang kutuggu datang. Sekilas kulihat sudah cukup penuh. Aku berlari kecil menuju gerbong nomor 3. Gerbong favoritku. Pintu kedua dari arah datangnya kereta. Sudah tak ada bangku kosong saat aku masuk. Udara dingin menyapa tatkala kipas angin yang berputar dilangit-langit kereta menghembus padaku. Aku berdir dekat pintu. Kusumpal telingaku. Kuputar semua lagu yang hampir tiga tahun ini kujauhi.

Rabu, 18 November 2015

BAU HUJAN DAN SEKEDAR PENERIMAAN






Pada akhirnya bau hujan tak lagi saya rasakan karena tanah-tanah terlalu sering diperkosa manusia sialan. Tapi memori yang muncul tetap saja beralur sama berirama serupa. Mengutuk atau bersyukur mungkin itu hanya pilihan sementara. Sebab yang utama adalah kau harus lebih dulu menerima.


2015 nyaris menyentuh ajalnya. Musim hujan sudah mengungkung langit Bogor. Penghujung November yang basah di Kotaku yang terkenal karena curah dan angkotnya. Petir kini rutin bertandang sehabis Ashar sampai Isya menjelang. Kudapati diri kembali mengulang memoar kala hujan deras menghujam tubuhku.

Saya adalah orang dengan sepenuh penyesalan. Adanya banyak hukuman dari alam atas apa yang sudah saya lakukan atau tidak saya lakukan. Pernah kalian merasa lelah mengejar semua ambisi kalian. Kalian ingin berbalik dan cukup bersyukur saja ?
Sungguh saya tak sepenuhnya percaya pada siapapun, pada apapun, Bahkan pada diri saya sendiri. Saya ingat betapa saya sudah berusaha menjadi baik pada orang lain meski saya sadar itu tetap tak cukup membuat saya pantas bersayap dan memiliki cincin besar keemasan yang mengambang tenang di atas kepalaku.

Sejujurnya ingin sekali saya jahat, hingga pada satu waktu akan muncul ekor dengan ujung seperti panah yang terhunus, atau kulit yang memerah bak kepiting yang direbus atau tanduk sebesar telunjuk yang keluar dari batok kepalaku atau trisula dengan ujung lancip berwarna hitam yang sigap kugenggam erat.